Jumat, 13 April 2012

Coretan Kecil untuk Kakak


Hari ini aku pulang dari sekolah dengan langkah lesu. Bukan karena aku sakit dan tidak kuat berjalan. Tetapi aku berharap dengan lambatnya langkahku, aku lebih lambat sampai di rumah. Aku benci setiap ruangan itu. Yang kulihat hanya semilir angin berlalu lalang. Bahkan, aku merasa kuburan lebih ramai dari pada rumahku. Setidaknya disana ada sesuatu yang harus kutakuti. Beda dengan rumahku. Kosong. Hampa. Aku benci ini semua!
Lamunanku terhenti ketika berhadapan dengan besi hitam tinggi yang tersusun rapi. Perlahan aku mendorong pintu besi itu dan berjalan dengan tatapan kosong. Mbok Sum tersenyum dan menghampiriku, “Jangan lupa makan siang, Nduk. Udah mbok siapin.” Aku hanya tersenyum dan tetap melangkah. “Kalau ada apa-apa, Mbok di belakang ya.” Kata mbok Sum dengan ramahnya. Aku hanya mengangkat jempol ku untuk mengatakan ya.
Aku menjatuhkan diriku di atas tempat tidur. Sepi. Sunyi. Tak ada apapun yang dapat mengisi hariku. Aku bosan dengan semua ini. Seingatku, terakhir kali aku tertawa di rumah 5 tahun yang lalu, saat aku berulang tahun yang ke 10. Aku merindukan semua itu, merindukan keluargaku. Mama yang seharusnya menemaniku di rumah, mendengarkan ceritaku dan memberi nasehat untuk semua masalahku terlalu sibuk bahkan untuk sekedar melihatku saja. Papa yang dulu selalu meluangkan waktunya untuk mengakariku bermain alat musik, kini bagaikan terikat oleh dasi kantornya. Kakak lelaki yang dulu selalu bisa menghiburku, menghapus air mata ku, dan mendekapku saat ketakutan kini ntah kemana. Ia lebih memilih tertawa bersama teman-temannya dari pada menemaniku disini.
Malam telah larut. Aku masih menunggu kakak pulang. Aku ingin menceritakan semua perasaanku, masalahku, semuanya. Jam kamarku menunjukkan angka 11. Biasanya kakak sudah pulang. Aku segera bangun dan melangkah keluar kamar. Namun langkahku terhenti ketika pintu kamarku terbuka. Ternyata mama dan papa baru pulang dari kantornya. “Kenapa belum tidur, Sayang?” Kata mama tersenyum. Aku hanya duduk diam di sisi tempat tidurku. “Tidurnya jangan kemalaman ya!” Kata papa sambil mengusap kepalaku. Lalu mereka menutup pintu kamarku dan melangkah pergi. Ya, mereka selalu ke kamarku setiap malam. Hanya di pagi dan malam hari seperti ini aku bisa melihat mereka. Dan itu hanya sapaan basa-basi seperti tadi. Terkadang, aku merasa sangat aneh dengan kedua orang tuaku. Mereka sangat ramah kepada ku. Tetapi sepertinya tidak satu sama lain. Mereka memang belum pernah berkelahi di depanku. Tapi aku merasakan itu.
Jarum jam telah berpindah ke angka 2. Aku memasuki kamar kakakku. Kosong. Sepertinya malam ini kakak tidak pulang. Aku menuju meja belajarnya dan mengambil secarik kertas.
            8 April 2012
Kak, dimana sekarang? Kakak gak pulang? Kenapa hp kakak gak aktif? Banyak yang ingin ku ceritakan pada kakak. Sudah berapa tahun kita tidak saling cerita, Kak? Aku kangen kakakku yang dulu.
Aku meniggalkan kertas itu dan kembali ke kamarku. Menarik selimut dan mencoba mulai menjelajahi dunia mimpi. Aku berharap besok pagi kakak sudah berada di sampingku dan siap mendengarkan semua ceritaku.
“I miss screaming and fighting...” Lagu Taylor Swift, alarm dari hp ku berhasil menyadarkanku dari mimpi indahku. Sudah jam setengah 7. Bel masuk sekolah berbunyi 1 jam lagi. Aku segera bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Sebelum pergi, aku mencoba membuka kamar kakakku. Kosong. Kakak belum pulang. Meja makan juga kosong. Hanya ada 2 piring yang telah dipakai. Itu berarti mama dan papa telah pergi ke kantor. Selera makan ku hilang. Aku memutuskan untuk langsung ke sekolah. “Gak sarapan dulu, Nduk?” tanya Mbok Sum dari dapur. “Gak mbok. Nanti aja di sekolah.” Jawabku sambil terus melangkah.
3 hari berlalu. Hanya itu yang kualami. Sampai pada suatu hari di sekolah. Namaku dipanggil sebagai murid penerima beasiswa. Kepala sekolah mengatakan bahwa besok orang tua ku harus datang. Saat itu juga aku bingung. Terakhir kali mama mengantarku ke sekolah saat aku kelas 5 SD. Apakan mama mau datang ke sekolahku besok? Terakhir kali papa menjemput rapor ku saat aku kelas 4 SD. Apakah papa tau bahwa aku mendapat beasiswa? Aku harap kakak pulang hari ini.
Aku menunggu kakak di kamarnya. Sudah pukul 3 pagi. Tapi aku masih sangat berharap kakak pulang. Aku menuju meja belajarnya dan mengambil secarik kertas lagi.
            12 April 2012
Kak, kenapa kakak belum pulang juga? Aku mendapat beasiswa. Mama atau papa harus ke sekolahku besok. Bagaimana ini, Kak? Aku takut mengganggu kesibukak mereka. Menurut kakak papa atau mama mau ke sekolahku? Aku harus bilang atau diam saja? Aku harap kakak pulang hari ini.
Aku tertidur di meja belajar kakak. 2 jam kemudian aku tersentak dan melirik jam. Masih jam 5. Aku mandi dan memakai seragam sekolahku. Sekitar jam 6 aku turun dan duduk di meja makan. Tujuanku hanya 1. Ya, menunggu mama papa dan mengatakan semuanya. Mbok Sum heran dan bertanya. Namun, aku memilih diam. 7.00 mama dan papa turun. Lebih lambat dari biasanya. Seperti dua orang anak kecil yang sedang berkelahi dan merajuk. Hanya diam dengan wajah masam. Namun, senyum mereka segera mengembang saat melihatku. Sangat jelas itu senyuman palsu. “Hai sayang! Mama pergi dulu ya. Makan yang banyak!” “Mama gak sarapan?” Mama hanya diam dan tetap melangkah. “Ma!” panggil ku menghampiri mama. “Kamu udah SMA, Sayang. Udah gede kan? Harus mandiri ya!” Aku diam, berbalik ke arah papa. “Papa pergi dulu ya.” Kata papa seraya membelai rambutku.
Aku mengurungkan niatku. Aku memilih diam. Apa beasiswa ini begitu tidak berarti? Aku rasa tidak. Buktinya aku tidak pernah menrasa kekurangan dari segi materi. Apa aku yang begitu tidak berarti? Mungkin saja. Buktinya aku tidak pernah merasa benar-benar diperhatikan. Biarlah beasisaw ini untuk mereka yang lebih membutuhkan dan lebih peduli.
“Nessa Adya! Harap ke kantor sekarang!” Untuk kesekian kalinya aku mendengar suara guru melalui speaker sekolah. “Sekali lagi, Nessa Adya ditunggu di kantor sekarang!” Kali ini nada suaranya
terdengar marah. Aku lebih memilih duduk sendiri di belakang sekolah dari pada harus berbohong memberi alasan kepada kepala sekolah mengapa orang tuaku tidak datang.
Aku memandangi langit luas dihadapanku. Aku selalu senangmelihat langit. Langit memberiku ketenangan. Terutama langit sore yang kemerahan. Warna yang membelaiku lembut dan membuatku terkagum dengan keindahannya. Awan putih, bersih, dan lembut berarak di depanku. Putih bagaikan kapas, lembut bagaikan busa. Bersinar, namun melindungi ku dari matahari. Dulu, awan selalu memberiku cerita dan tawa. Tapi itu dulu. Saat aku dan kakak memandang langit bersama. Saat pertama kali menyadari indahnya langit, aku mengambil kesimpulan bahwa dibalik kesedihan tersimpan keceriaan. Dibalik keterbatasan tersimpan keindahan. Dan dibalik keributan tersimpan ketenangan. Tapi sayang, aku belum menemukan apapun dibalik semua itu.
Sinar matahari yang tiba-tiba terik membuyarkan kekagumanku. Aku benci matahari yang menyinari bumi dengan semangatnya. Menghancurkan segala yang rapuh. Bagaikan sebuah lampu yang sangat marah. Membakar apapun yang disentuhnya. Tapi aku suka matahari yang tersenyum malu di balik awan. Menciptakan pemandangan yang luar biasa. Memberikan rona merah pada awan yang indah. Namun apapun itu, aku masih terus berharap ada matahari yang menyinari dan menghangatkan keluargaku.
Aku tersadar bahwa sekolah telah kosong. Aku melangkahkan kaki ku yang jelas-jelas menolak untuk menginjak ruang hampa itu. Ketika melalui papan pengumuman, aku melihat penerima beasiswa telah diganti. Rasa senang menenangkan pikiranku. Tapi, rasa itu dengan cepatnya berubah menjadi rasa kaget yang luar biasa. Namaku tertulis sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba bermain piano 2 hari lagi. Bukannya aku takut kalah, tapi aku berpikir untuk siapa aku melakukan ini? Siapa yang harus ku banggakan? Mama? Papa? Mereka saja mungkin tidak tahu bahwa aku sangat mahir bermain piano. Kakak? Dia takpernah pulang minggu ini. Sekolah? Ya, mungkin hanya sekolah motivatorku. Hanya sekolah yang memberikanku alasan mengapa aku harus menang. Dan hanya sekolah yang harus kubanggakan.
Ketika sampai di rumah, aku langsung berlari ke kamar kakak. Berharao kakak ada disana. Namun harapanku hancur saat mendapati kamar kakak kosong. Kakak belum pulang juga. Meja belajarnya menjadi tempat berceritaku lagi.
            13 April 2012
Kak, kapan kakak pulang? Aku sudah berusaha mengatakan pada mama dan papa. Tapi kata mama aku udah gede, harus mandiri. Apa itu artinya mama gak mau perhatiin aku lagi kak? Aku terpilih mewakili sekolah dalam lomba piano 2 hari lagi. Aku berharap kakak ada di sana. Melihat dan tersenyum kepadaku.
Malam ini aku berbaring di bawah taburan bintang. Dulu aku sering disini bersama kakak. Menebak segala pola bintang. Aku suka bintang, terlihat cantik walaupun sebenarnya hanya batu yang bercahaya. Tetap menyempatkan dirinya untuk menyapa bumi walaupun ia jauh. Berkedip saat memandangku. Tersenyum manis saat ku menangis sendiri. Mewarnai gelapnya langit malam yang mencekam. Membentuk rangkaian cerita berbeda disetiap malamnya. Ramainya bintang malam ini terasa sangat sepi. Aku masih menunggu kakak.
Keesokan harinya aku bertekad akan memberi tahu mama. Ketika mama dan papa menuruni tangga, aku segera berkata “Ma, besok aku mewakili sekolah untuk lomba piano.” “Wah! Kamu hebat sayang.” Kata mama yang masih sibuk dengan handphone di tangannya. Aku yakin mama tidak mendengarkanku. Aku berlari ke arah papa. “Papa tidak ingin melihatku bermain piano besok?” Papa hanya tersenyum membelai rambutku. Sementara matanya masih terfokus pada laptopnya. Aku juga yakin papa tidak mendengarku. Satu detik kemudian papa dan mama telah melaju dengan mobil mereka. Aku terdiam. Tidak adakah hari libur untuk mereka? Tidak adakah sedikit waktu yang mereka sisakan untukku? Apakah kata sayang yang selalu diucapkan mama hanya sapaan belaka? Apakan mama tidak tahu arti sayang sebenarnya? Lalu, apa maksud papa yang selalu tersenyum dan membelai rambutku? Apakah itu hanya menunjukkan bahwa papa masih sempat menyentuhku? Tapi aku tidak merasakan kasih sayang sama sekali dari mereka. Sudahlah, setidaknya aku sudah mengatakannya.
Hari ini hari Minggu. Aku menghabiskan waktuku untuk bermain piano. Setelah merasa lelah sekitar jam 9 malam, aku menuju meja belajar kakakku.
            14 April 1012
Kak, aku udah bilang ke mama dan papa. Tapi sepertinya mereka sama sekali gak peduli. Aku masih berharap kakak besok datang walaupun hanya tersenyum sedetik untukku. Do’akan aku besok ya, Kak!
Pagi yang cerah, aku berdiri di depan cermin. Menatap bayanganku yang terbalut gaun putih, dress code lomba kali ini. Setelah merasa siap, aku mengemudikan mobilku ke lokasi lomba. Tidak seperti peserta lain yang ditemani oleh orang tua mereka. Berjalan bergandengan dan tersenyum bersama. Aku datang hanya sendiri. Ya, sendiri. Sementara guru-guru yang menemaniku telah menunggu di dalam.
Satu persatu peserta maju. Mayoritas mereka bersikap gugup. Tapi mengapa tak ada sama sekali hal yang kurasakan? Hampa. Tatapanku kosong. Aku berharap kakak muncul di sini sekarang. “Baiklah, peserta berikutnya. Nessa Adya dari SMA Jati Luhur!” Kata-kata MC disambut tepuk tangan meriah memutuskan lamunanku. Aku menaiki pentas dan duduk dibelakan piano putih yang sangat besar. Sejenak aku melihat ke arah penonton. Berharap menemukan mama, papa, atau kakakku disana. Tapi aku tau itu hanya harapan kosong. Aku membiarkan jari jemari ku menari dengan indahnya, menyelesaikan serangkai barisan nada yang indah, tanpa kesalahan sedikitpun.
5 jam menunggu hasil perlombaan. Namaku keluar sebagai juara pertama. Perasaanku masih kosong. Aku tidak merasakan apapun. “Orang tua kamu mana, Nak?” tanya salah satu guruku. “Mama papa sibbuk kerja, Buk.” Pertama kalinya aku mengatakan hal ini. Biasanya aku berbohong, mencari alasan lain. Tapi ntah kenapa malam ini aku lebih memilih jawaban itu. Jawaban jujur dari hati.
Aku pulang dengan membawa sebuah piala besar, amplop berisi uang, dan sertifikat. Mama dan papa belum pulang. Alu segera menuju kamar kakakku. Tentu saja menuju meja belajarnya. Sudah ada setumpuk kertas yang selama ini ku tulis. Aku mengambil secarik kertas kosong.
            15 April 2012
Kak, aku menang. Tapi aku gak tau harus merasakan apa. Perasaanku kosong. Menurut kakak aku harus bagaimana? Kakak dimana sekarang? Kapan kakak pulang? Apa kakak perlu aku jemput? Apa kakak gak mau pulang lagi kerena lebih banyak awan putih disana? Atau langit sore yang lebih indah? Atau bintang cantik yang lebih banyak memberi kakak cerita? Atau bahkan kakak sudah menemukan pelangi kita? Apa kakak senang disana? Jika ya, aku ingin ikut kakak. Mama papa tidak akan marah kalau aku ikut kakak. Mereka juga bahkan tidak akan tau. Buktinya seminggu ini mereka tidak tau kalau kakak tidak pernah pulang. Aku ikut kakak ya? Aku ingin menyusul kakak. Berbaring diatas awan putih yang lembut, menyaksikan indahnya langit, dan bercerita dengan jutaan bintang. Tunggu aku disana kak!
Aku meletakkan kertas itu diatas kertas-kertas kemarin. Semua coretan yang berisi cerita hari ku. Aku juga meletakkan piala, amplop, dan sertifikatku disana. Aku ingin ikut kakak. Aku bosan dengan ini semua.
Petir yang menggelegar diiringi suara rintik hujan yang menghantam atap rumah mengejutkanku saat aku kembali ke kamarku. Aku benci petir. Bercahaya mengerikan dan suara yang membentak lantang. Menciptakan ketakutan diantara awan. Menambah kesuraman diantara bintang yang tertutup gelap. Dan mengejutkan bulan sehingga enggan kembali lagi. Aku juga benci hujan di malam hari. Terasa sangat mengerikan. Membasahi dunia yang kelam. Memberikan kesan kesedihan dan kesepian disetiap tetesannya. Menyembunyikan indahnya bintang yang seharusnya bercerita. Menutup bulan yang seharusnya tersenyum indah. Dan menjadikan malam terasa suram. Tapi aku suka hujan di siang hari. Memberikan kesegaran pada bumi yang gersang. Membasahi tanah yang haus, kering kerontang. Melumuri dedaunan dengan kesejukan. Menghiasi pandangan dengan tetesannya yang menawan. Menyanyikan nada gemericik indah. Dah mewarnai langit dengan keceriaan pelangi.
Ah, tapi ini malam. Tidak akan ada harapan bagi pelangi untuk menemaniku. Aku menyiapkan seluruh keperluanku, menuju mobilku dengan setengah berlari, mematikan handphone ku, dan berlalu di tengah derasnya hujan. Tanpa kusadari mobil sport putih milik kakak yang selama ini ku tunggu, Revan Adya telah terparkir di garasi rumahku.